EdukasiTips

Sejarah Kerajaan Majapahit sebagai Pusat Peradaban Nusantara Kuno Abad Ke-14

Tiara Motik

Sejarah Kerajaan Majapahit sebagai Pusat Peradaban Nusantara Kuno Abad Ke-14

Kerajaan Majapahit adalah saksi bisu dari kemegahan peradaban Nusantara di abad ke-14. Dikenal sebagai pusat kekuatan politik dan budaya, kerajaan ini menjalin hubungan diplomatik hingga ke berbagai belahan negara di Asia.

Majapahit tidak hanya meninggalkan jejak kejayaan melalui wilayah kekuasaannya yang luas, tetapi juga melalui tradisi, seni, dan nilai-nilai yang masih dikenang hingga saat ini.

Di dalam artikel ini, mari kita menggali lebih dalam tentang sejarah dan pengaruh besar Majapahit sebagai pusat peradaban kuno, khususnya di Asia Tenggara.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit

Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit
Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia, dari tahun 1293 hingga 1527 Masehi. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya, yang merupakan menantu Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari.

Sebagai kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang memimpin Nusantara, Majapahit sering dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Tapi, sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, Kerajaan Singhasari adalah kerajaan paling kuat di Jawa. Kejayaan ini menarik perhatian Kublai Khan, penguasa Dinasti Yuan dari Tiongkok. Ia mengirim seorang utusan bernama Meng Chi ke Singhasari untuk meminta upeti.

Tapi, Kertanegara, raja terakhir Singhasari, menolak dan bahkan mempermalukan utusan itu dengan melukai wajahnya dan memotong telinganya. Ini membuat Kubilai Khan marah, sehingga ia mengirim ekspedisi besar ke Jawa pada tahun 1293.

Pada saat itu, Kertanegara telah digulingkan dan dibunuh oleh Jayakatwang, adipati Kediri. Raden Wijaya, menantu Kertanegara, menyerahkan diri kepada Jayakatwang atas saran penasihat kerajaan, Aria Wiraraja.

Baca juga: Mengungkap Sejarah Kerajaan Kutai dan 7 Benda Berharga Peninggalannya

Jayakatwang menerima Raden Wijaya dan memberinya hutan Tarik. Di sana, Raden Wijaya membuka lahan baru, membangun desa, dan mendirikan pelabuhan utama di Canggu. Desa itu diberi nama Majapahit, diambil dari nama “buah maja” yang rasanya pahit.

Ketika pasukan Mongol tiba di Jawa, Raden Wijaya bersekutu dengan mereka untuk melawan Jayakatwang. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol. Serangan mendadak ini memaksa pasukan Mongol mundur karena mereka harus segera pulang sebelum angin muson berubah, atau terpaksa bertahan di Jawa selama 6 bulan.

Awal Berdirinya Majapahit

Majapahit resmi berdiri pada tanggal 10 November 1293, saat Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Tapi, kerajaannya menghadapi beberapa pemberontakan dari orang-orang kepercayaannya, seperti Ranggalawe, Sora, dan Nambi.

Menurut catatan Pararaton, pemberontakan ini diduga dipicu oleh intrik Mahapatih Halayudha, yang ingin menyingkirkan para pejabat penting dan mengambil alih kekuasaan. Setelah semua pemberontakan berhasil dipadamkan, Halayudha sendiri ditangkap dan dihukum mati.

Sementara itu, Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309. Putranya, Jayanegara, menggantikan takhta, tetapi pemerintahannya tidak terlalu kuat. Pararaton menyebutnya sebagai Kala Gemet, yang berarti “penjahat lemah”.

Selama masa pemerintahannya, seorang pendeta Italia bernama Odorico da Pordenone sempat mengunjungi istana Majapahit.

Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri, Tanca. Setelah itu, Gayatri Rajapatni, ibu tiri Jayanegara, seharusnya naik takhta. Tapi, ia memilih menjadi bhiksuni dan menunjuk putrinya, Tribhuwana Wijayatunggadewi, sebagai ratu.

Pada tahun 1336, Tribhuwana mengangkat Gajah Mada sebagai Mahapatih. Saat pelantikan, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, menegaskan ambisinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Di bawah pemerintahan Tribhuwana, Kerajaan Majapahit berkembang pesat hingga menjadi kekuatan besar di Nusantara.

Setelah Tribhuwana turun takhta pada tahun 1350, putranya, Hayam Wuruk, melanjutkan kepemimpinan Majapahit.

Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389), Majapahit mencapai puncak kejayaannya dan menjadi kerajaan besar yang menguasai banyak wilayah di Nusantara.

Berawal setelah wafatnya Rajapatni (Gayatri), Ratu Tribhuwanatunggadewi menyerahkan takhta Kerajaan Majapahit kepada putranya, Hayam Wuruk, yang saat itu baru berusia 16 tahun pada tahun 1350. Setelah dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk mengambil gelar Sri Rajasanegara.

Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan, yang dikenal sebagai “Zaman Keemasan Majapahit”. Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, yang melanjutkan ambisinya untuk menyatukan wilayah Nusantara.

Berkat kepemimpinan mereka, Majapahit berhasil menaklukkan banyak kerajaan di Nusantara, sehingga wilayah kekuasaannya mencakup hampir seluruh kepulauan Indonesia saat ini, termasuk Tumasik (Singapura) dan Semenanjung Melayu.

Tumasik pertama kali direbut oleh Majapahit pada masa pemerintahan raja sebelumnya, tetapi sempat lepas akibat konflik internal kerajaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Ayutthaya dari Siam (sekarang Thailand), yang kemudian menguasai Tumasik. Tapi, pada sekitar tahun 1390, Majapahit berhasil merebut kembali wilayah tersebut.

Kebesaran Majapahit mulai terbentuk sejak masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328–1350) dan mencapai puncaknya pada masa Hayam Wuruk (1350–1389). Di era ini, Majapahit tidak hanya terkenal dengan kekuatannya, tetapi juga dengan kemakmuran yang dirasakan oleh rakyatnya.

Hayam Wuruk dan Gajah Mada membawa pengaruh besar terhadap penyebaran pengaruh Majapahit hingga ke luar Nusantara.

Dalam catatan Negarakertagama, disebutkan bahwa asal-usul Kerajaan Majapahit bermula dari sebuah kota kecil di hutan Tarik yang diubah menjadi desa oleh orang-orang yang dikirim oleh Aria Wiraraja.

Setelah runtuhnya Daha, desa tersebut menjadi pusat pemerintahan baru, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Majapahit hanya mencakup sebagian kecil wilayah Jawa Timur, seperti Kediri, Singhasari, Jenggala, dan Madura.

Tapi, wilayah kerajaan ini semakin meluas setelah berhasil menaklukkan daerah Sadeng (di tepi Sungai Badadung) dan Keta (di dekat Panarukan, pantai utara Jawa Timur). Setelah Jawa Timur sepenuhnya dikuasai, Majapahit mulai memperluas kekuasaannya ke luar Jawa.

Wilayahnya mencakup Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, hingga sebagian Filipina, seperti yang tercatat dalam Negarakertagama Pupuh XII–XV.

Majapahit menjadi salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara, dengan pengaruh dan kerjasama yang meluas ke luar Nusantara. Meski Hayam Wuruk menganut agama Hindu, Mahapatih Gajah Mada adalah seorang penganut agama Buddha, menunjukkan keberagaman agama di dalam pemerintahan Majapahit.

Masa Kemunduran Kerajaan Majapahit

Setelah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit mulai melemah secara perlahan. Kejatuhan ini dimulai dengan wafatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sepeninggalnya, terjadi konflik internal berupa perebutan takhta yang melemahkan stabilitas kerajaan. Daerah-daerah, seperti Sumatra bagian utara dan Semenanjung Malaya mulai melepaskan diri.

Semenanjung Malaya bahkan menjadi wilayah sengketa antara Majapahit dan Kerajaan Ayutthaya hingga akhirnya Kesultanan Malaka berdiri dengan dukungan Dinasti Ming. Malaka muncul sebagai solusi atas konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.

Hayam Wuruk meninggalkan 2 pewaris potensial, yaitu putri mahkota Kusumawardhani yang menikah dengan Pangeran Wikramawardhana, dan Wirabhumi, putranya dari seorang selir. Kedua pihak ini memperebutkan takhta dalam Perang Regreg (1404–1406).

Perang dimenangkan oleh Wikramawardhana, sementara Wirabhumi dihukum mati. Tapi, konflik ini berdampak buruk pada kekuatan Majapahit, yang mulai kehilangan kendali atas wilayah-wilayah taklukannya.

Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, ekspedisi laut dari Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho mulai berlabuh di Jawa. Komunitas Muslim dari Tiongkok dan Arab mulai terbentuk di pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Demak, Tuban, dan Gresik, yang mempercepat penyebaran Islam di wilayah tersebut.

Sementara itu, Kesultanan Malaka mulai bangkit sebagai kekuatan baru di barat Nusantara, menguasai Selat Malaka, dan merebut pengaruh Majapahit di wilayah sekitarnya.

Pemerintahan dilanjutkan oleh Ratu Suhita (1429–1447), putri Wikramawardhana, diikuti oleh Kertawijaya (1447–1451) dan Rajasawardhana (1451–1453). Setelah wafatnya Rajasawardhana, terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga tahun hingga Girisawardhana naik takhta pada 1456. Tapi, konflik internal terus berlanjut.

Pada 1468, Bhre Kertabhumi memberontak melawan Raja Singhawikramawardhana, yang kemudian melarikan diri ke daerah Daha. Tapi, pada 1474, Ranawijaya, putra Singhawikramawardhana, mengalahkan Bhre Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit. Ia memerintah hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana.

Tapi, konflik internal ini melemahkan Kerajaan Majapahit secara keseluruhan, memberi peluang bagi Kerajaan Demak yang berbasis Islam untuk bangkit dan akhirnya mengambil alih pengaruh di Nusantara.

Masa Kehancuran Kerajaan Majapahit

Kekalahan Bhre Kertabhumi oleh Ranawijaya pada tahun 1474 memicu konflik antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak. Pada masa itu, Demak sudah menjadi penguasa dominan di pesisir Jawa dan mengambil alih wilayah Jambi serta Palembang dari kendali Majapahit, yang sudah lemah dan lebih berfokus mempertahankan wilayah pedalamannya.

Menurut tradisi Jawa, runtuhnya Majapahit sering dikaitkan dengan tahun 1478 (1400 Saka), yang dianggap sebagai masa peralihan dinasti. Tapi, sebenarnya tahun ini merujuk pada wafatnya Bhre Kertabhumi, bukan sepenuhnya akhir dari kekuasaan Majapahit.

Konflik antara Majapahit dan Demak sempat mereda ketika Patih Udara menggantikan Girindrawardhana dan mengakui kekuasaan Demak. Tapi, perang kembali memanas setelah Patih Udara meminta bantuan Portugis untuk melawan Demak.

Pada tahun 1527, Demak melancarkan serangan besar-besaran yang menghancurkan ibu kota Majapahit, menandai berakhirnya sejarah panjang Majapahit. Sejarawan dari Tiongkok, Portugis, dan Italia mencatat bahwa peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Kesultanan Demak terjadi sekitar tahun 1518 hingga 1521.

Setelah kejatuhan Majapahit, banyak anggota keluarga kerajaan, abdi istana, seniman, dan pendeta melarikan diri ke daerah Panarukan, Blambangan (sekarang Banyuwangi), dan Pulau Bali. Dengan runtuhnya Majapahit, Demak menjadi kerajaan Islam pertama yang kuat di Jawa.

Wilayah Hindu di Jawa yang tersisa hanya kerajaan-kerajaan kecil, seperti Pasuruan, Panarukan, dan Blambangan di timur, serta Kerajaan Sunda di Pajajaran di barat. Sementara itu, masyarakat Hindu perlahan mundur ke pegunungan atau Pulau Bali.

Hingga kini, beberapa komunitas Hindu, seperti masyarakat Tengger di kawasan Bromo dan Semeru, masih bertahan. Demak pun memastikan posisinya sebagai kekuatan utama di Jawa pasca-Majapahit.

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit dalam Berbagai Sumber Sejarah

Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit dalam Berbagai Sumber Sejarah
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Majapahit dalam Berbagai Sumber Sejarah

Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai catatan sejarah berikut ini:

  1. Kakawin Nagarakretagama (pupuh XIII–XV) mencatat bahwa wilayah Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Singapura, dan sebagian Kepulauan Filipina. Catatan ini menggambarkan Majapahit pada masa kejayaannya.
  2. Prasasti Jayanegara II (Tuhañaru), yang berasal dari tahun 1323 Masehi, mencatat upaya ekspansi wilayah Majapahit ke luar Jawa. Prasasti ini menyebut gelar raja sebagai “Iswara Sundarapandyadewa,” yang menurut sejarawan H.B. Sarkar menunjukkan bahwa Majapahit memiliki pengaruh besar atas Raja Pandya di India Selatan.
  3. Hikayat Raja-raja Pasai juga menyebut banyak wilayah yang berada di bawah kendali Majapahit. Wilayah ini mencakup daerah di sekitar Kepulauan Riau, seperti Bintan, Natuna, dan Lingga, Pulau Tioman, Kalimantan, seperti Sambas dan Banjarmasin), Pulau-pulau di Nusa Tenggara, Bali, Palembang, hingga wilayah lain di Semenanjung Malaya dan Filipina.
  4. Naskah Calon Arang, yang berasal dari masa akhir Majapahit, menyebut wilayah kekuasaan yang meliputi Melayu, Palembang, Jambi, Bengkulu, Malaka, Singapura, Pattani, Pahang, dan Champa (Vietnam). Naskah ini juga mencatat wilayah di Asia, seperti Siam (Thailand), Cina, dan beberapa tempat di India serta Burma.
  5. Hikayat Banjar, sumber lain yang mendokumentasikan wilayah Majapahit, mencatat kekuasaan Majapahit meliputi Jawa, Banten, Palembang, Makassar, Bali, Minangkabau, Johor, Aceh, Pasai, Bugis, Pahang, Pattani, dan Champa (Vietnam).

Secara keseluruhan, sumber-sumber ini menunjukkan bahwa Majapahit memiliki pengaruh yang luas di Nusantara dan bahkan melampaui batas wilayah Indonesia modern. Tapi, perlu dicatat bahwa penguasaan ini lebih sering berupa pengaruh politik dan budaya dibandingkan kendali langsung atas wilayah tersebut.

Baca juga: Apa Itu Demokrasi? Ini Pengertian, Sejarah, dan 6 Jenisnya

Siapa Saja Raja di Kerajaan Majapahit?

Siapa Saja Raja di Kerajaan Majapahit?
Siapa Saja Raja di Kerajaan Majapahit?

Majapahit adalah kerajaan besar yang dipimpin oleh keturunan Wangsa Rajasa, keluarga kerajaan yang berakar dari Singhasari dan didirikan oleh Sri Ranggah Rajasa pada akhir abad ke-13. Ini adalah daftar maharaja Majapahit berdasarkan kronologi pemerintahannya:

  1. Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (1293–1309)
    • Nama asli: Nararya Sanggaramawijaya
    • Sebelumnya menjabat sebagai Adipati Janggala.
    • Diabadikan dalam prasasti Mula Malurung, Kudadu, Sukamerta, dan beberapa kidung, seperti Harsawijaya dan Panji Wijayakrama.
  2. Sri Maharaja Jayanagara (1309–1328)
    • Nama lengkap: Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.
    • Sebelumnya memimpin sebagai Bhre Daha.
    • Tercatat dalam Pararaton.
  3. Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (1328–1350)
    • Nama asli: Dyah Gitarja.
    • Memimpin sebagai Bhre Kahuripan sebelum naik takhta.
    • Disebutkan dalam Pararaton.
  4. Maharaja Sri Rajasanagara (1350–1389)
    • Nama asli: Dyah Hayam Wuruk.
    • Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan.
    • Dikenal sebagai pemimpin saat Majapahit mencapai puncak kejayaan.
    • Tercatat dalam Pararaton dan Negarakretagama.
  5. Bhatara Hyang Wisesa Aji Wikramawardhana (1389–1429)
    • Nama asli: Dyah Gagak Sali.
    • Sebelumnya juga Bhre Kahuripan.
    • Tercatat dalam Pararaton.
  6. Prabu Sri Suhita (1429–1447)
    • Nama asli: Suhita.
    • Sebelum naik takhta, ia adalah Bhre Daha.
    • Tercatat dalam Pararaton.
  7. Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana (1447–1451)
    • Nama asli: Dyah Kertawijaya.
    • Sebelumnya memimpin sebagai Bhre Tumapel.
    • Tercatat dalam Pararaton.
  8. Rajasawardhana Sang Sinagara (1451–1453)
    • Nama asli: Dyah Wijayakumara.
    • Memimpin sebagai Bhre Kahuripan sebelumnya.
    • Disebut dalam Pararaton.
  9. Girishawardhana (1456–1466)
    • Nama asli: Dyah Suryawikrama.
    • Sebelumnya menjabat Bhre Wengker.
    • Tercatat dalam prasasti Waringin Pitu dan Pararaton.
  10. Sri Adi Suraprabhawa (1466–1468)
    • Nama asli: Dyah Suraprabhawa.
    • Sebelumnya Bhre Pandansalas.
    • Disebut dalam Pararaton.
  11. Bhre Kertabhumi (1468–1474)
    • Sebelumnya dikenal dengan nama yang sama.
    • Tercatat dalam Babad Tanah Jawi.
  12. Prabhu Natha Sri Girindrawardhana (1474–1518)
    • Nama asli: Dyah Ranawijaya.
    • Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Keling.
    • Disebutkan dalam prasasti Jiyu dan catatan Suma Oriental.
  13. Prabhu Udara (1518–1527)
    • Nama asli: Patih Udara.
    • Sebelum menjadi raja, ia menjabat sebagai perdana menteri.
    • Tercatat dalam Babad Tanah Jawi dan Suma Oriental.

Periode ini juga mencatat adanya kekosongan kekuasaan di antara pemerintahan Rajasawardhana dan Girishawardhana, kemungkinan karena konflik suksesi yang memecah keluarga kerajaan menjadi 2 kelompok.

Ini menunjukkan perjalanan panjang kerajaan Majapahit di tengah konflik internal, suksesi, dan tantangan politik. Meski pernah mengalami kekosongan kekuasaan, pengaruh Majapahit tetap signifikan dalam sejarah Nusantara.

Seperti Majapahit yang menjadi pusat peradaban pada masanya, era digital saat ini menuntut bisnis untuk menjadi pusat perhatian melalui kehadiran online yang kuat.

Untuk itu, Optimaise, sebagai digital marketing agency Malang, siap membantu kamu melalui jasa SEO Malang dan jasa pembuatan website yang profesional.

Yuk, tingkatkan visibilitas bisnismu dan raih kejayaan di dunia digital bersama Optimaise. Hubungi Optimaise sekarang untuk solusi digital terbaik!

[addtoany]

Baca Juga

Optimaise