TipsEdukasi

Mengungkap Sejarah Kerajaan Kutai dan 7 Benda Berharga Peninggalannya

Tiara Motik

Mengungkap Sejarah Kerajaan Kutai dan 7 Benda Berharga Peninggalannya

Kerajaan Kutai tak sekadar menjadi saksi awal mula peradaban di Nusantara, tetapi juga meninggalkan jejak-jejak berharga yang berbicara tentang kejayaan masa lalu. Sebagai pusat peradaban Hindu pertama di Indonesia, kerajaan meninggalkan berbagai peninggalan bersejarah yang tak hanya bernilai budaya tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan bangsa.

Di antara peninggalan tersebut, terdapat tujuh benda berharga yang mengungkapkan banyak hal tentang kehidupan, tradisi, dan perjuangan kerajaan ini.

Melalui artikel ini, mari kita telusuri jejak sejarah Kerajaan Kutai melalui beberapa benda peninggalannya yang tak hanya indah secara fisik, tetapi juga penuh makna sejarah yang mendalam.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai

Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai
Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai

Kutai adalah wilayah bersejarah di Kalimantan Timur, Indonesia, yang pernah menjadi pusat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Kutai Martadipura dan Kesultanan Kutai Kartanegara. Wilayah ini menyimpan jejak peradaban awal yang menjadi bagian penting dalam sejarah Nusantara.

Kerajaan Kutai Martadipura (399–1635) adalah kerajaan Hindu pertama di Indonesia, berdiri pada abad ke-4. Pusat kerajaannya diperkirakan berada di Muara Kaman, yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Kutai Kartanegara.

Bukti keberadaan kerajaan ini ditemukan dalam bentuk peninggalan batu kuno bernama Lesong Batu, yang digunakan untuk membuat prasasti yūpa. Di mana prasasti ini mencatat kehidupan sosial, agama, dan kebesaran Kerajaan Kutai Martadipura.

Pada abad ke-13, muncul Kesultanan Kutai Kartanegara (1300–1844), sebuah kerajaan baru yang berpusat di Tepian Batu atau Kutai Lama. Raja pertama kesultanan ini adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang memerintah sekitar tahun 1300–1325.

Baca juga: Ketahui Ciri Terkena Penyakit Ain dan 4 Cara Melindungi Diri

Prasasti Kerajaan Kutai

Prasasti Kerajaan Kutai
Prasasti Kerajaan Kutai

Keberadaan Kerajaan Kutai diketahui melalui prasasti yūpa, yang merupakan tiang batu sebanyak tujuh buah dan dibuat pada tahun 475 M (abad ke-5). Prasasti ini diakui sebagai prasasti tertua di Indonesia, menjadi bukti awal sejarah bangsa.

Ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta, prasasti yūpa menjadi saksi perjalanan penting Kerajaan Kutai pada masanya. Dari 7 prasasti yūpa yang ditemukan, 3 di antaranya berhasil dibaca dan memberikan informasi berharga, yaitu:

  1. Prasasti mencatat garis keturunan Maharaja Kudungga, pendiri Kerajaan Kutai.
  2. Disebutkan bahwa Maharaja Mulawarman, salah satu raja Kutai, memberikan sedekah berupa 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana di tempat suci bernama “Waprakeswara”.
  3. Raja Mulawarman juga mencapai puncak kejayaan dengan mengadakan kenduri besar-besaran. Untuk mengenang peristiwa ini, para Brahmana mendirikan tugu batu sebagai penghormatan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari prasasti yūpa, beberapa hal dapat disimpulkan:

  1. Kerajaan Kutai berdiri pada abad ke-4 Masehi, menjadikannya salah satu kerajaan tertua di Indonesia.
  2. Nama Kudungga menunjukkan bahwa budaya asli Indonesia pada saat itu belum terpengaruh oleh sistem kasta.
  3. Pengaruh budaya India mulai terlihat pada masa pemerintahan Raja Aswawarman, yang dikenal sebagai pendiri dinasti di Kerajaan Kutai.
  4. Kudungga dianggap sebagai pendiri kerajaan, sementara Aswawarman adalah pendiri Dinasti Kutai.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai Martapura

Berdasarkan prasasti yūpa, Kerajaan Kutai mencapai masa keemasannya di bawah pemerintahan Raja Mulawarman. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, memiliki karakter yang baik, dan memimpin dengan kekuatan serta keadilan.

Salah satu bukti kejayaannya adalah pelaksanaan upacara persembahan besar-besaran, di mana Mulawarman menyumbangkan 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana. Persembahan ini dilakukan di tempat suci bernama Waprakeswara, yang mencerminkan perpaduan antara budaya Hindu dan tradisi asli Nusantara.

Sebagai keturunan Raja Aswawarman, Mulawarman juga melaksanakan upacara Vratyastoma, yaitu ritual penyucian untuk masuk ke kasta Ksatria. Ritual ini dipimpin oleh para Brahmana dari masyarakat lokal, menunjukkan bahwa masyarakat asli Indonesia pada masa itu memiliki keahlian dalam agama Hindu.

Penggunaan bahasa Sanskerta dalam ritual ini juga menjadi bukti bahwa Raja Mulawarman memiliki kecerdasan tinggi, karena bahasa tersebut bukan bahasa sehari-hari rakyat biasa.

Di masa pemerintahannya, kerajaan mengalami perkembangan pesat di bidang ekonomi. Letak kerajaan yang strategis mendukung kemajuan sektor pertanian dan perdagangan, menjadikan Kutai sebagai pusat kekuatan dan kemakmuran di wilayahnya. Keberhasilan ini semakin memperkuat posisi Raja Mulawarman sebagai pemimpin yang membawa Kutai ke puncak kejayaan.

Masa Keruntuhan Kerajaan Kutai Martapura

Kerajaan Kutai Martapura berakhir ketika rajanya, Maharaja Dharma Setia, gugur dalam peperangan melawan Raja Kutai Kartanegara yang ke-8, yaitu Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Penting untuk diketahui bahwa Kerajaan Kutai Martapura berbeda dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Pada masa itu, Kutai Kartanegara berpusat di Kutai Lama. Nama Kutai Kartanegara juga disebutkan dalam Negarakertagama, sebuah karya sastra Jawa dari tahun 1365.

Setelah itu, Kutai Kartanegara berkembang menjadi kerajaan Islam. Mulai tahun 1732, gelar pemimpinnya yang semula “raja” diubah menjadi “sultan,” sehingga dikenal sebagai Kesultanan Kutai Kartanegara hingga saat ini.

Raja yang Memimpin Kerajaan Kutai Martapura

Dalam catatan sejarah, hanya 5 nama raja dari Kerajaan Kutai yang tercatat secara otentik. Di mana 3 di antaranya ditemukan pada prasasti yūpa yang menggunakan aksara Pallawa, sementara 2 lainnya tercatat dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang ditulis dengan aksara Arab Melayu.

Kundungga, raja pertama Kerajaan Kutai, dikenal sebagai pendiri dinasti ini. Nama Kundungga dianggap mencerminkan identitas asli Nusantara, yang belum terpengaruh budaya India. Tapi, pengaruh budaya Hindu mulai terlihat pada generasi berikutnya.

Putra Kundungga, Aswawarman, memiliki nama dengan akhiran “warman”, yang berasal dari bahasa Sanskerta, sering digunakan oleh masyarakat India bagian selatan.

Raja berikutnya adalah Mulawarman, putra Aswawarman, yang membawa Kerajaan Kutai ke masa kejayaannya. Masa pemerintahannya dikenal dengan berbagai catatan keberhasilan, termasuk upacara keagamaan besar yang tercatat di dalam prasasti. Sebagai rincian, inilah daftar maharaja Kerajaan Kutai:

  1. Kundungga (bergelar Anumerta Dewawarman, pendiri Kerajaan Kutai)
  2. Aswawarman (Putra Kundungga, penerus tahta)
  3. Mulawarman Nala Dewa (raja yang terkenal membawa Kutai ke masa kejayaan)
  4. Marawijaya Warman
  5. Gajayana Warman
  6. Tungga Warman
  7. Jayanaga Warman
  8. Nalasinga Warman
  9. Gadingga Warman Dewa
  10. Indra Warman Dewa
  11. Sangga Warman Dewa
  12. Candrawarman
  13. Sri Langka Dewa
  14. Guna Parana Dewa
  15. Wijaya Warman
  16. Sri Aji Dewa
  17. Mulia Putera
  18. Nala Pandita
  19. Indra Paruta Dewa
  20. Dharma Setia (raja terakhir Kerajaan Kutai yang meninggal pada masa invasi Kesultanan Kutai Kartanegara)

Berdirinya Kesultanan Kutai Kartanegara

Kesultanan Kutai Kartanegara ini berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura di bawah pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa pada tahun 1635. Kedua kerajaan kemudian disatukan menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Masuknya pengaruh Islam ke wilayah Kutai terjadi pada abad ke-17, terutama setelah kedatangan orang-orang Bugis dari Sulawesi pasca jatuhnya Kerajaan Gowa pada tahun 1667. Para pendatang ini menetap di sepanjang Sungai Karang Mumus, di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Samarinda.

Salah satu raja Kutai, Aji Muhammad Idris, yang memerintah pada tahun 1732–1739, tercatat sebagai penguasa pertama yang menggunakan nama bercorak Islam, menandai semakin kuatnya pengaruh agama ini di Kutai.

Pada tahun 1782, di tengah konflik internal, Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibu kota kesultanan dari Pemarangan ke Tepian Pandan. Nama kota tersebut kemudian berubah menjadi Tenggarong, yang hingga kini menjadi pusat Kabupaten Kutai Kartanegara. Tapi, pada abad ke-19, kekuasaan kesultanan mulai melemah.

Pada tahun 1844, Belanda berhasil mengalahkan Sultan Aji Muhammad Salehudin dan mengambil alih kendali wilayah Kutai. Tapi, ketika Perang Dunia II berlangsung, Jepang menguasai Kutai pada tahun 1942 dan mendirikan pemerintahan bernama “Kerajaan Kooti”.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Kutai bergabung dengan wilayah Kalimantan Timur lainnya dalam sebuah federasi. Akhirnya, pada tahun 1949, Kutai secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia Serikat, menutup lembaran sejarah sebagai kerajaan independen.

Baca juga: Ketahui 6 Jenis dan Cara Cek Bansos Kemensos Secara Online, Mudah dan Cepat!

Peninggalan Kerajaan Kutai

Peninggalan Kerajaan Kutai
Peninggalan Kerajaan Kutai

Informasi tentang Kerajaan Kutai hingga masa setelah ditaklukkan oleh Kesultanan Kutai dapat diketahui berkat berbagai peninggalan sejarah yang ditemukan saat ini. Berikut adalah beberapa peninggalan penting dari Kerajaan.

Prasasti Yūpa

Prasasti yūpa merupakan salah satu peninggalan paling berharga. Yūpa adalah tiang batu yang berisi tulisan tentang Kerajaan Kutai.

Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, yang banyak digunakan di India Selatan. Dari prasasti ini, kita bisa mengetahui informasi penting seperti silsilah raja-raja Kutai, tempat sedekah, dan berbagai peristiwa penting lainnya.

Patung Kura-kura Emas

Peninggalan lainnya adalah patung kura-kura emas yang kini disimpan di Museum Mulawarman. Patung kecil ini, seukuran setengah kepalan tangan, merupakan hadiah dari seorang pangeran dari Kerajaan China untuk Putri Sultan Kutai, Aji Bidara Putih.

Keris Bukit Kang

Keris Bukit Kang adalah senjata bersejarah yang konon digunakan oleh Permaisuri Aji Putri Karang Melenu, istri Raja pertama Kutai. Legenda mengatakan bahwa sang permaisuri ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut di atas bambu, bersama dengan telur ayam dan sebuah keris.

Singgasana Kerajaan

Setelah Kerajaan Kutai ditaklukkan oleh Kesultanan Kutai, peninggalan berupa 2 buah singgasana kerajaan tetap terjaga. Kursi singgasana ini berwarna kuning dan dihiasi dengan payung serta umbul-umbul di sekitarnya.

Kalung Ciwa

Kalung Ciwa ditemukan pada tahun 1890 di kawasan Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung ini tetap digunakan hingga sekarang sebagai perhiasan kerajaan yang dipakai oleh raja Kutai.

Kalung Uncal

Kalung Uncal adalah perhiasan berbahan emas dengan berat 179 gram yang memiliki liontin berukir cerita Ramayana. Kalung ini menjadi salah satu atribut penting kerajaan yang masih dipakai setelah Kutai menjadi Kesultanan.

Ketopong Sultan

Ketopong Sultan adalah mahkota emas seberat 1,98 kilogram yang dipakai oleh Sultan Kutai. Peninggalan ini ditemukan pada tahun 1890 di daerah Muara Kaman dan menjadi simbol kebesaran kerajaan.

Peninggalan-peninggalan ini memberikan gambaran tentang kejayaan Kerajaan Kutai serta peralihan kekuasaan ke Kesultanan Kutai, sekaligus menjadi saksi sejarah penting bagi Indonesia.

Kerajaan Kutai tidak hanya meninggalkan jejak kejayaan sebagai kerajaan tertua di Indonesia, tetapi juga warisan budaya yang kaya melalui berbagai peninggalannya. Sejarah ini mengajarkan kita pentingnya dokumentasi dan strategi yang baik untuk menjaga keberlanjutan dan dampak sebuah nama, baik dalam sejarah maupun dunia modern.

Bagi kamu yang ingin membangun brand atau jika kamu ingin nama bisnis atau brandmu dikenal, Optimaise, sebagai digital marketing agency Malang, siap membantu.

Kami menyediakan jasa press release, jasa penulisan artikel SEO-friendly, dan jasa SEO yang akan meningkatkan visibilitas bisnis kamu secara online. Percayakan strategi digital marketingmu pada Optimaise untuk hasil yang maksimal dan berkelanjutan!

[addtoany]

Baca Juga

Optimaise